Coklat, manis, gelap dan lembut. Begitu banyak hal yang bisa
kugambarkan dari sebuah coklat. Seperti sebuah kehidupan dengan segenap ceritanya.
Kehidupan tak pernah selalu berakhir seperti coklat yang aku makan malam ini,
begitu cepat dan menagihkan. Tapi tetap saja, kehidupan itu manis. Sama seperti
coklat. Coklat pertama membawaku kesebuah tempat yang amat ku kenal, tempat
yang penuh dengan cerita kehidupan, cerita tentangmu, tentang mereka, dan Dia
yang menjalankan semuanya.
Semua begitu cepat berlalu, kini aku sendiri dan menikmati
sekotak coklat dan sepenggal penyesalan. Larut dalam kesendirian tanpa
kehidupan, tanpa kamu, tanpa mereka, dan tanpa Dia. Namun aku masih memiliki diriku
sebagai pendamping, diriku yang selalu ada kapanpu, dimanapun, pada kondisi
apapun. Diriku sudah seperti coklat ini saja.
Masih ingat betul harum nafasmu, lembut belaimu, dan kecupan
manismu, semakin aku memikirkanmu, semakin kau tampak seperti coklat. Dapat
kurasakan lelehan benda kecil yang manis ini di lidahku. Tak terasa ku rasakan
manis dan asin dari coklat ini. Aku tersentak , aku merasakan basah di pipiku.
Apa ini air mata….. ?!. ku usapkan jariku ke kedua pipiku, dan aku merasakan
ada yang aneh di pipi – pipiku, ada yang menempel dan terasa tidak nyaman. Ternyata
kini lelehan coklat yang ada di jariku telah berpindah di kedua pipiku yang
bercampur dengan air yang keluar dari
mataku. Sejenak aku terpejam aku bingung ingin kuusapkan seluruh coklat yang
ada di hadapanku ke seluruh tubuhku, penuh, agar aku tidak dapat merasakan
apapun kecuali lengket dan manis di seluruh hidupku. Seperti coklat. Coklat
yang disukai setiap orang, manis yang membuat setiap orang tergila-gila padaku,
coklat yang tidak pernah protes untuk dimakan, coklat yang cepat sekali tandas
dan hanya menyisakan manis untuk dirasakan. Seorang manusia coklat yang menanti
untuk dimakan.
Apakah iya ?!. apakah jika aku menjadi sebuah coklat,
rasanya akan sama, harumnya akan sama, dan manisnya akan sama, seperti coklat
yang sedang berdiam dimulutku beradu dengan air mata yang sekarang ikut
memberikan rasa yang berbeda dalam coklatku. Apakah semua orang akan menyukaiku
?!.
Aku terdiam lama sekali hingga coklat ini begitu hambar di
lidahku. Dan tiba- tiba manis itu kembali muncul, namun bukan lidahku yang merasakannya.
Rasa manis itu keluar jauh dari dalam tubuhku, dalam sekali, hingga seluruh
indraku ikut merasakan manis itu. Manis yang abadi. Bisakah aku menjadi seperti
itu?!
Mataku terbuka, perlahan-lahan ku ambil telepon yang berada
di samping tempatku berbaring. Dan mulai memesan sekotak coklat lagi untuk malam
ini.
0 komentar:
Posting Komentar